Lahirnya kaum Ahmadiyah-Qadian ini
dimulai pada saat umat
islam berada dalam
zaman akhir ini
yang sifatnya sebagai
Masih dan Mahdi.
Namun pada saat
Mirza Ghulam Ahmad
Al-Qadiyani (1835-1908)
hadir di India, Ia mengumumkan
kepada kaum bahwa
beliau adalah Al-Masih
dan Al-Mahdi untuk kaum
ini yang dikatakannya
atas perintah Allah
SWT. Ia telah
dapat mendirikan jama’ahnya
pada tahun 1889
agar mereka memikul
pada pundak mereka
atas kepentingan kalimah islam.
Ahmadiyah
bukanlah agama baru, tetapi
Ahmadiyah telah lahir
pada saat Mirza
Ghulam Ahmad Al-Qadiyani
hadir pada tahun 1835
di India. Kaum Ahmadiyah juga
membenarkan kalimah “Syahadat” sama
seperti kaum islam lainnya, Mirza Ghulam
Ahmad mengumumkan bahwa
kepercayaan/aqidah hidupnya Nabi Isa a.s
tentang turunnya Ia dari
langit pada akhir
zaman adalah salah
dan kepercayaan itu
menyangkal dari Al-Qur’an, As-sunnah, akal dan
fakta sejarah. Kemudian
beliau juga mengatakan
tentang turunnya Al-Masih
yang disebutkan dalam
beberapa hadits bahwa maksud
dari turunnya adalah
lahirnya seseorang dalam
umat islam ini
yang menyerupai Al-Masih.
Karena berita turunnya
Isa di kalangan kaum muslimin
itu sangat serupa
dengan turunnya Elia
dahulu, Ia tidak turun
dari langit sebagai
mana apa yang mereka lihat, bahkan
Ia lahir di atas
bumi dengan kelahiran
secara Tamsil ( perserupaan
) dan
itu ada pada
sosok Nabi Yahya
a.s .
Hadirnya kaum Ahmadiyah
ini merupakan seretan
dalam lintas peristiwa
sejarah Islam, yang kemunculannya
tidak terlepas dari
situasi dan kondisi
umat muslim pada saat itu.
Sejak kekalahan Turky
Usmani dalam serangannya
ke benteng Wina pada
tahun 1683, pihak Barat
mulai bangkit menyerang
kerajaan tersebut dan
serangan itu lebih
efektif lagi pada
abad 18.
Sesudah India menjadi
koloni Inggris, tampaknya sikap
umat muslim yang
masih sangat tradisional
dan fatalistis, dengan disertai
semangat antipati dan
fanatisme keagamaan yang
berlebihan dalam menghadapi
bangsa Barat, menyebabkan mereka
terisolasi. Keadaan kaum
muslimin ini semakin
buruk terutama sesudah
terjadi pemberontakan Mutiny
di tahun 1857. Dan kemudian
kaum Ahmadiyah di India
mulai menyebar ke berbagai
tempat dan itu
termasuk Indonesia yang
menjadi lintasan perdagangan
dunia.
Aliran Ahmadiyah-Qadian menemukan
puncak kejayaannya di Indonesia terjadi pada masa kepresidenan
Abdurrahman Wahid atau sering
di sapa dengan Gus Dur. Saat
itu Gus Dur terang-terangan menyatakan
siap membela warga
Ahmadiyah. Semenjak kehadirannya
di Indonesia dan menjadi
meluas hingga masuk
ke Aceh Selatan, Tapaktuan pada
tahun 1925, Ahmadiyah mengalami
pasang surut. Sejarah
mencatat saat Ahmadiyah
tiba di daerah Padang (1926), kelompok ini telah
mendapat perlawanan dari
penganut islam setempat. Metode dakwahnya
yang dikenal lebih
rasional dan liberal, membuat kalangan
muda tertarik dengan
tawaran Ahmadiyah. Disisi lain, kedatangan Mubaligh
Ahmadiyah menjadi serupa
ancman atas ajaran
islam yang dibawakan
oleh para ulama. Bahkan
mereka tidak segan-segan
mengajak berdebat mengenai
islam dengan kalangan
ulama islam yang
telah mapan ditempat
mereka bermukmim. Ahmadiyah yang
datang melalui sumatera
disebut Ahmadiyah-Qadian,
lantaran para penyebarnya
memang berguru langsung
di tempat Ahmadiyah berasal, yakni di desa
Qadian Punjab, India. Kelak mereka
menamakan diri sebagai
Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Sementara yang
pertama masuk ke Jawa, tepatnya di Yogyakarta
pada tahun 1924 disebut
Ahmadiyah Lahore, karena berpusat
di Lahore, Pakistan. Kemudian
mereka menamakan diri
sebagai Gerakan Ahmadiyah
Indonesia yang berpusat
di Yogyakarta. Penyebar awal
faham ini adalah
dua mubaligh Ahmadiyah
asal India yang
bernama Maulana Ahmad
dan Mirza Wali
Ahmad Baigh.
Dalam
sidangnya di Jeddah ( Saudi
Arabia ) pada tanggal
10-16 Rabiuts Tsani
1406 H atau bertepatan
dengan tanggal 22-29
Desember 1985 M, badan fiqih islam
berpendapat bahwa ajaran
pokok Ahmadiyah ada 4
, yaitu keyakinan bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalah :
1.
Seorang Nabi
2.
Isa anak
Maryam
3.
Imam Mahdi
4.
Seorang Mujaddid
Awalnya dimulai
pada tiga pemuda
yang berasal dari
pesantren Islam di Sumatera Barat, yaitu
Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin
dan Zaini Dahlan
pergi ke India untuk
melanjutkan pendidikan agamanya. Dan
disana mereka mendapati
sumber Ahmadiyah dari
Qadian, meskipun mereka dapat
tantangan dari para
jamaat Ahmadiyah Lahore (Anjuman Isyaati
Islam) yang di dirikan
oleh Mirza Ghulam
Ahmad. Baru
pada saat pertangahan
tahun 1925, Mirza Basyiruddin
Mahmud Ahmad memimpin
pelepasan Maulana Rahmat
Ali berangkat ke Indonesia, maka sejak
itulah pondasi perkembangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia telah diletakkan.
Maulana Rahmat Ali
tiba pertama kali
di Tapaktuan, Aceh. Disana
ia dapat merekrut
beberapa orang untuk masuk
dalam aliran Ahmadiyah, namun mereka
mendapat pertentangan dari
masyarakat setempat.
Kemudian ia melanjutkan
perjalanannya ke Padang,
disana mendapat titik
balik banyak kaum
intelektual Islam dan
tokoh-tokoh masuk kedalam Ahmadiyah. Dan di Padanglah
pada tahun 1926 secara
resmi berdiri sebagai
suatu Jamaat atau
suatu Organisasi. Pada
tahun 1931 Maulana
Rahmat Ali menuju
ke Jakarta, ibukota Indonesia. Dan
perkembangan Ahmadiyah semakin
cepat, banyak kaum Intelektual, orang terpelajar, tokoh-tokoh terkenal
dan masyarakat ningrat
masuk kedalam Ahmadiyah. Di Jakartalah pengurus
besar Ahmadiyah didirikan
dengan R. Muhyiddin sebagai
ketua pertamanya. Tetapi perkembangan
itu bukan tanpa
perjuangan para Ulama
Indonesia, baik tradisional dan
modernis terus menyerang
dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi
antara Ahmadiyah dan
Para Ulama Islam lainnya, dan
yang paling terbesar adalah
dilaksanakan di Jakarta pada
tahun 1933.
Pergerakan jemaat
Ahmadiyah dalam islam
adalah suatu organisasi
ke agamaan dengan ruang
lingkup internasional yang
memiliki cabang di
174 Negara terbesar
di Afrika , Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australasia dan
Eropa. Rahmat Ali
yang membawa aliran
Ahmadiyah masuk ke Tapaktuan, Aceh Selatan menyebar
aliran ini ke Padang
pada tahun 1926, disana
ia mulai melakukan
tabligh seperti pada
waktu ia tiba
di Tapaktuan hingga ke
daerah Padang Panjang
dan Bukit Tinggi.
Namun tabligh yang
dilakukan di kota ini
mendapat pertentangan sehingga
berdiri sebuah komite
yang diberi nama
“Komite Mencari Hak”
yang dipimpin oleh Tahar Sutan
Marajo, tujuannya adalah untuk
mempertemukan mubaligh Ahmadiyah
dengan ulama Minangkabau.
Itu
terjadi pada permulaan
tahun 1926, akan tetapi
penyelenggaraan debat tidak
jadi diselenggarakan karena
pihak alim ulama
tidak hadir kecuali
hanya murid-muridnya saja, sehingga para anggota
komite merasa kecewa.
Reaksi lain masih
di tahun yang sama (1926), ayah
Hamka Dr. H. Abdul Karim Amarullah
mengecam keras Ahmadiyah
yang dibawa oleh
Rahmat Ali dan
menganggap kaum Ahmadiyah
berada diluar islam.
Bahkan lebih tegas
lagi dianggap sebagai kafir, namun
hal itu tidak
menghambat perkembangan jemaat
Ahmadiyah di Padang. Anggota Ahmadiyah
pada awal berdirinya
berjumlah 15 orang, mereka
antara lain Mohammad Taher
Sutan Marajo, Daud Gelar
Bongso Marajo dan
lain-lain.
Dengan demikian
Maulana Rahmat Ali
boleh disebut pembawa
faham Ahmadiyah ke Indonesia
bersama pemuda-pemuda indonesia
yang belajar di Qadian. Oleh
karena itu Maulana
Rahmat Ali dipandang
sebagai perintis Ahmadiyah
Qadian di Indonesia yang dalam
perkembangannya menjadi sebuah
organisasi dengan nama
Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Setelah berdiri
sebagai organisasi di tahun
1929, Maulana Rahmat Ali
kerap mendapatkan ejekan. Meskipun demikian
Rahmat Ali tetap
melanjutkan tablighnya ke daerah
lain, seperti Bukit Tinggi,
Payakumbuh, dan beberapa daerah
lainnya. Dia dibantu oleh
M. Haji Mahmud yang
saat itu baru
kembali dari Qadian.
Menurut Arnold J. Toynbee
dalam bukunya A
Study of History, tidaklah dapat
dipungkiri bahwa kehadiran
Ahmadiyah di Indonesia merupakan
sebuah tantangan bagi
umat islam Indonesia, khususnya para
ulama dan tokoh-tokoh islam. Apalagi
setelah ada respon
dari sebagian masyarakat
islam yang menyatakan
diri mengikuti faham
Ahmadiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Ahmad. 2002. Dimana Letak
Kesesatan Dan Bahaya
Ahmadiyah. Bandung :
Yayasan Al-Abror, Bandung
Djamaluddin,
Amin. 1993. Ahmadiyah &
Pembajakan Al-Qur’an. Bandung
: CV Sartika Bandung
Fathoni,
Muslih, 1994. Faham Mahdi
Syi’ah Dan Ahmadiyah
Dalam Perspektif. Jakarta
Utara : PT Raja Grafindo Persada
Amir. 2011. Theologi
Jemaat Ahmadiyah. Jakarta
: Rajawali Pers
0 Response to "ORGANISASI JEMAAT AHMADIYAH QADIAN DI INDONESIA"
Posting Komentar